Subhanallah, Alumni IPB Pro-Rakyat Miskin, Biayai Seluruh Mahasiswa Baru yg Tidak Mampu

8:25 PM , 0 Comments


IPB BERSATU

"Keajaiban selalu datang pada orang-orang yg mempercayainya."

Kalimat itu menjadi kenyataan di sepanjang minggu di awal bulan Juni ini.
Keajaiban demi keajaiban melimpah ruah dialami oleh segenap Masyarakat IPB.

Semua berawal ketika Rabu tanggal 1 Juni lalu, ribuan calon mahasiswa baru (camaba) IPB tiba memenuhi halaman Kampus Darmaga.


Kabar tak enakpun meruak, dan membuat kami semua tersentak.
Ratusan camaba dari seluruh pelosok negeri itu terpaksa mengurungkan niat untuk menimba ilmu di Kampus Rakyat.


Kampus yg menjadi idaman bagi banyak anak-anak petani, pekebun, nelayan, buruh, pelayan warteg dan ratusan pekerja informal lainnya ini, tak mampu menyediakan beasiswa bagi mahasiswa tak mampu, sebesar beasiswa tahun-tahun lalu.

Ratusan tubuh-tubuh muda dikabarkan terkulai lesu. Wajah-wajah sederhana yang terlihat lemah karena panjangnya perjalanan yg harus ditempuh dr kampung halaman mereka itu, luluh terkulai di bumi Darmaga.
Mereka hanya bisa memandang sendu gedung-gedung megah nan teduh di hamparan tanah nan luas itu, dan harus mengucapkan selamat tinggal tanpa pernah memiliki kesempatan untuk merasakan duduk di jajaran kursi di dalamnya.
Harapan untuk memakai jaket almamater biru tua berhiaskan bordir kuning di dada itu, disadari hanyalah sebuah khayalan tingkat tinggi yg harus segera dihempaskan karena tidak tersedianya dana.

Sebagian calon mahasiswa baru masih tak percaya bahwa perjalanannya berakhir sia-sia, sebagian lagi memutuskan untuk segera membawa tubuhnya kembali ke kampung halaman, dan mengabarkan kepada handai taulan bahwa menjadi mahasiswa adalah impian. Sebuah angan-angan yg sulit menjadi kenyataan.

Kabar pilu dari Kampus Rakyat tempat kami dulu bersuka cita itu, secepat kilat menerobos masuk ke halaman grup-grup Alumni IPB di Wa, BlackBerry, dinding Facebook, Line dan media sosial lainnya.
Pagi yg biasanya ceria dan diawali kalimat-kalimat sapaan indah berbalut semangat,
kali ini berubah menjadi kalimat-kalimat berisi kabar sedih yg membuat kami semua terhenyak menghentikan aktifitas.
Paragraf demi paragraf singkat berisi kabar pedih tentang kondisi di Kampus Darmaga itu, sukses membuat pikiran kami tepekur membeku dengan lidah kelu.

Bagaimana mungkin ratusan calon mahasiswa berprestasi yg sudah lolos tes SNMPTN dengan mengalahkan ribuan kandidat mahasiswa lainnya yg sama-sama memimpikan IPB itu, harus gigit jari hanya karena ketidakmampuan mereka membayar Uang Kuliah Tunggal...??


IPB adalah kampus idaman rakyat. Pohon-pohon randu di halaman Kampus Baranangsiang, selasar-selasar panjang di Kampus Gunung Gede, ruang-ruang praktikum di Kampus Taman Kencana, dan ribuan pohon rindang yg menaungi para mahasiswa dari guyuran gerimis sepanjang hari di Kampus Darmaga, selama puluhan tahun telah menjadi saksi tanpa kata dari cucuran keringat para mahasiswa melarat, yg memahat impiannya di sepanjang dinding kampus.


Pun tak kurang ada anak presiden, anak menteri, dirjen, dirut Bumn, ilmuwan tersohor, maupun anak2 pemilik perusahaan besar yg menimba ilmu disana.
Kami semua bercampur baur dalam perkuliahan dan praktikum yg intens, sampai umumnya kami sulit membedakan teman-teman kami itu anak siapa....

Dengan semua keberagaman yg telah menjadi Jati Diri IPB itu,
apa jadinya jika calon mahasiswa baru dr keluarga miskin yg hanya berbekal ongkos naik kapal dan bus itu, harus rela mengubur impiannya dalam-dalam...??

Apa jadinya sebuah kampus tanpa keaneka-ragaman latar belakang manusia yg menjadi penghuninya,
apa artinya sebuah ilmu jika hanya dimiliki oleh kaum mampu,
bagaimana nasib kebijakan sebuah negeri jika intelektualnya dicetak dari kaum borju yg miskin empati,
akan menjadi apa dunia bila sebuah nestapa berlalu begitu saja tanpa ada bantuan upaya dari yg berpunya,
dan apa gunanya menjadi manusia berharta jika tak ada manfaatnya bagi sesama...?

Di pagi hingga malam tanggal 1 Juni itu, notifikasi di grup Wa riuh tak berhenti.
Semua sibuk menggali informasi, saling mengabarkan kenyataan bahwa alokasi beasiswa Bidik Misi (BM) bagi mahasiswa baru IPB yg biasanya untuk 800-1.100 orang camaba, tahun ini dipangkas ringkas menjadi hanya 270 camaba.

Sebuah data menyebutkan, diakuinya 25 PTN baru oleh Pemerintah menjadikan dana pendidikan yg ajeg persis tahun lalu, menjadi kian cupet.
Sebuah Kebijakan Nasional yg membuat warga IPB terpana.
Kabar haru-biru dari tanah Darmaga itu menyentak keheningan dan kesadaran kami sebagai manusia.

Data-data yg berisi Nama Camaba, asal sekolah, daftar prestasi, dan latar belakang mereka yg berasal dr keluarga papa pun berhamburan di chat room media2 sosial alumni,
gambarannya begitu jelas terpapar di depan mata.

Mereka adalah si anak yatim, si pemilik ayah penderita stroke, si anak kesekian dari saudara kandung yg bejibun di keluarga miskin, atau si anak korban Phk orang tua.
Berbagai informasi tentang miskinnya keluarga para pencari beasiswa itu, menjadi menu sarapan hingga menu makan malam ribuan Alumni IPB hari itu...


Kemiskinan bukan hanya sebuah nasib.
Kemiskinan adalah sebuah kezoliman jika orang-orang yang mengetahuinya memilih untuk berdiam saja.
Tiba-tiba, entah siapa yg memulai, di dalam grup angkatan sebuah fakultas tertulis "Ambil mereka sebagai anak-anak asuh kita. Entah bagaimana nanti jalan kita mencarikan dananya, jangan sampai mereka kembali ke kampung halaman dengan tangan hampa...!"

Yang lainnya pun mengiyakan, "Hak mereka ada di dalam rejeki kita. Ini bukan berbagi kesedihan, tapi inilah kesempatan indah untuk menyatukan kita..."
Dalam menit yg sama, semuanya serentak saling bersahutan:
"Tolong siapapun yg berada di Darmaga, panggil mereka kembali..!!"
"Jangan biarkan anak2 tak mampu itu sampai menaiki bus, kereta dan kapal kembali. Kami para Alumni tak akan membiarkan mereka berjuang sendiri, karena sekali mereka lolos diterima masuk ke IPB maka mereka adalah saudara-saudara kami."
"Kabarkan segera kepada mereka, kami tak akan membiarkan saudara kami menangis dalam ketidakberdayaan, setiap tetes air mata mereka adalah kumpulan asa-asa yg harus bisa kami wujudkan...."

Begitulah,
hari itu tak henti kami menanti kabar baru di halaman grup Wa, Bb, Line, maupun Fb yg kami ikuti.
Air matapun menetes deras setiap kali ada teman yg mengabarkan keikhlasannya untuk mentransfer sejumlah dana. Banyak di antara teman2 yg masih berjuang untuk kelangsungan kehidupannya masing2, tapi itu tak menyurutkan semangat kepedulian mereka, "Biarkan kami membantu adik2 itu, dan kami akan membiarkan Allah menolong kami."

Hari itu IPB Memanggil seluruh Alumninya untuk bersatu.
Kami semua sepakat, Almamater kami yg didirikan berpuluh tahun lalu sebagai Kampus Rakyat, harus tetap menjadi tempat bersemayamnya harapan dan mimpi rakyat.

Deretan kalimat berisi angka2 rupiah pun bertaburan di halaman2 WA, nilai berlembar2 kertas merah-pun tercatat melalui komitmen alumni di berbagai inbox, dan segera berderet masuk realisasi data2 transfer ke berbagai rekening yg dikelola Himpunan, Ikatan, Paguyuban, Grup, atau apalah namanya perkumpulan para Alumni IPB itu.
Kami membayangkan betapa sibuknya para malaikat mencatat seluruh amal kebaikan dari alumni yg seringkali tak mau disebutkan namanya itu.


Langit yang terik di atas Darmaga hari itu menjadi saksi tawa dan tangis anak2 dari keluarga papa.
IPB Memanggil mereka untuk kembali mendaftar, dan meminta mereka melebihkan kesabarannya untuk menanti kecukupan dana bagi mereka.
Tanggal 2 Juni sebenarnya adalah hari terakhir pembayaran,
namun silang kata dan kegetiran pun melingkupi ruang2 rapat di dekanat dan rektorat. Merekalah yg menentukan kebijakan, mereka pula yg mengetahui keadaan dapur universitas.

Mereka tentu ingin IPB menjadi gerbong besar sebuah rangkaian Kereta Rakyat, yg melaju kencang menuju masa depan, sambil tetap menyediakan sebanyak mungkin kursi kepada penumpang cerdas berkualitas, tanpa perlu peduli pada berapa kemampuan mereka untuk membayar tiketnya. Tapi di lain sisi, IPB adalah sebuah institusi besar yg harus tetap menjaga kualitasnya,
dibutuhkan dana besar untuk menghasilkan lulusan yg kreatif dan diakui dunia.

Di tengah detik2 yg menegangkan, menjelang terbenamnya matahari sore terbitlah keputusan bahwa batas waktu pembayaran Uang Kuliah Mahasiswa Baru diundur menjadi tanggal 8 Juni.
Kembali berita gembira itu ribuan kali di-share, mendominasi info terkini menutup percakapan di grup2 alumni hingga malam.

Seharian itu semua lelah berdiskusi. Sebelum memejamkan mata, teman-teman sepakat untuk berjibaku mengabarkan berita itu ke seluruh alumni yg tidak masuk ke dalam grup2 medsos. Target 1,2 miliar rupiah dana yg dibutuhkan, harus dapat terkumpul dalam waktu 1 minggu.
Terbayang betapa suka citanya para malaikat mencatat berbagai kebaikan yg sudah terlaksana di hari itu, dan bermacam niat tekad kuat untuk hari esok.

Hari-hari selanjutnya, segenap Alumni IPB terus berdoa meminta Allah agar meridhoi ikhtiar untuk membayar UKT bagi 400 lebih Camaba yg ditolak pengajuan beasiswa Bidik Misinya.
Ruang2 chat terus penuh dengan berbagai info baru, sms terus datang dan pergi, telepon pun tak henti berdering memanggil teman2 alumni untuk mengabarkan Perhelatan Akbar Alumni IPB ini, dan bersama berbagi bahu menyelamatkan anak2 pemilik masa depan.

Memang tidak semua yg mengajukan beasiswa BM adalah mahasiswa yg layak memperoleh beasiswa.
Dari hasil verifikasi, diketahui ada sebagian yg dinilai masih mampu membiayai kuliahnya secara mandiri, dan sebagian lagi memang harus diselamatkan karena mereka tak mampu menyelamatkan dirinya sendiri.
Salah satu camaba yg menggapai membutuhkan pertolongan adalah Agni Mulia yg ayahnya menderita stroke sehingga tidak lagi bekerja. Ia harus melunasi UKT sebesar 10,7 juta.

Ada lagi kisah ngenes dari Yulianti Ratnasari.
Ia adalah gadis teramat sederhana dari pelosok Ciamis, yang diangkat anak oleh sebuah keluarga buruh tani miskin.
Yuli diasuh oleh seorang ibu angkat yg pekerjaannya hanya menjadi tukang mencabut rumput di sawah milik tetangga,
ayah angkatnya telah bertahun lumpuh dan tergolek tak berdaya, ditambah seorang nenek angkat yang sudah lama menderita sakit tua.
Mereka adalah keluarga melarat yg memungut Yuli, saat ayahnya meninggal tanpa mewariskan harta apapun ketika Yuli kecil masih berusia satu setengah tahun.
Sang Ibu saat itu memutuskan untuk pergi menikah dengan lelaki miskin lainnya, yang membuatnya tak mampu membawa serta kedua buah hatinya.
Hanya si sulung yg sanggup dibawa sang ibu, dan meninggalkan bayi Yuli pada sebuah keluarga miskin yang bersedia mengulurkan kasih untuk merawatnya.
Yuli gadis yg tangguh. Ia bertanam bayam dan cabe di halaman rumah yg tak seberapa.
Hasilnya dijual untuk ongkos ojek ke sekolah, karena angkot tak masuk ke desanya.
Yuli terbiasa tak membawa uang jajan, tapi ia biasa membawa pulang prestasi dari sekolah.
Yuli terus berusaha mengukir indah cerita hidupnya, ia percaya bahwa kecerdasan bisa mengalahkan kemiskinan yg telah menjadi identitasnya sejak lahir. Ia pun yakin bahwa suatu hari Allah akan jatuh hati pada kesabarannya.

Kabar tentang diterimanya Yuli melalui jalur undangan ke IPB diterima dengan suka cita, meski ketiadaan biaya membuat Yuli dan ibunya tak mungkin bisa berangkat ke Bogor.
Apalagi di surat itupun disebutkan bahwa Yuli harus langsung membayar UKT sebesar 2,7 juta karena pengajuan beasiswa Bidik misinya ditolak.
Tapi kakak-kakak kelas Yuli yg tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (Omda) Ciamis terus mendesak Yuli agar segera mencari biaya untuk pergi ke Bogor. Mereka tahu bagaimana prestasi Yuli selama ini, dan membujuknya untuk tak menyerah pada nasib. "Cukuplah kamu membawa ongkos bus saja, soal biaya lainnya biarlah kita perjuangkan bersama disini..."
Jadilah ibu Yuli berhutang ke tetangga, dan pergilah Yuli dan ibunya memulai petualangan mereka, yaitu melakukan perjalanan jauh dari kampung halaman untuk pertama kalinya.
Di sepanjang perjalanan keduanya mabuk darat bergantian, diguncang badan bus yg menari-nari menyanyikan harapan bagi keduanya.
Dan sang ibu yg tak bisa berbahasa Indonesia itupun berkali2 menangis, mengkawatirkan ikhtiar mereka jika sampai berakhir sia-sia.

Selama 2 hari Yuli dan ibunya ditampung di sebuah rumah kost sederhana di sebuah gang sempit, yg dihuni para kakak kelas dari Ciamis.
Kakak-kakak kelas sekampungnya itulah yg bergotong-royong memfoto copy berbagai persyaratan administrasi bagi Yuli, dan berpatungan membelikan nasi dan lauk untuk pengisi perut Yuli dan ibunya.
Tapi rasa optimis berubah menjadi gundah, tatkala Omda Ciamis tak kunjung mendapatkan donatur untuk membayari kuliah Yuli.

Harapan pun kandas, lembar-lembar nilai dan sertifikat prestasi Yuli yg ia perjuangkan sejak SD hanya akan menjadi catatan usang di sudut kamarnya yg sederhana.

Rabu 1 Juni itu Yuli telah meluruhkan harapannya, dan ia harus segera bersiap-siap mengejar bus di malam hari, karena tak bisa lama meninggalkan ayah dan neneknya yg sakit tak berdaya di rumah.
Semua jalan terang untuk meraih gelar sarjana sudah tertutup, saat tiba-tiba hp jadulnya berdering, memunculkan sebuah nomor tak dikenal. Yuli tak bisa menjawab panggilan itu, hp bututnya hanya bisa untuk ber-sms karena speakernya telah lama rusak.

Tak lama kemudian muncul sebuah sms yg berbunyi :
"Assalamuallaikum ananda Yulianti. Saya Nusirwan alumni Fpik angkatan 24. Kami teman2 alumni berniat membantu beasiswa ananda....",
dan Masya Allah, terbayangkan detik-detik selanjutnya adalah luapan kebahagian yg tak terkira bagi Yuli dan ibunya.

Tangan Allah bekerja tuntas mengubah semua keadaan, membayar seluruh kerja keras dan kesabaran yg dilakukan selama ini.
Si anak yatim itu sekaligus dihadiahi banyak orang tua angkat.

Suara tang ting tung di grup WA masih terus berlanjut, ada yg memberikan laptop untuk kebutuhan kuliah Yuli, ada yg mentransfer dana untuk kebutuhan bulanan hingga 2 tahun ke depan, ada yg telah memesankan kamar kost untuknya setelah keluar dari asrama bersama IPB di tahun depan, dan ada yang mengirim Hp android agar semua orang tua angkat Yuli itu bisa terus memantau perkembangan kuliahnya kelak.
Semua ingin mengawal pendidikan si anak yatim dan memastikannya kelak lulus kuliah, agar ia bisa mengeluarkan keluarganya dari kemiskinan, dan supaya kerja kerasnya bisa menjadi inspirasi bagi pemuda-pemudi di desanya untuk tak padam semangat dalam mengejar impian pendidikan.

Keajaiban yg dirasakan Yuli, juga terjadi pada ratusan mahasiswa baru IPB lainnya.
Himpunan Alumni melalui organisasi2 underbownya di tingkat himpunan fakultas, himpunan jurusan, Ikatan Alumni di media sosial, Paguyuban Angkatan dan grup2 besar maupun kecil di daerah, selama satu minggu pertama di awal bulan Juni ini berhasil menghimpun dana sosial sebesar 1,25 miliar rupiah.
Para alumni bersatu membantu biaya adik2 kelas yg sebenarnya tidak pernah sekali pun mereka kenal.
Mereka sepakat, ilmu harus terus mengalir deras dan tak boleh kalah dari nasib buruk akibat jeratan kemiskinan.

Kampus IPB kembali sumringah menyambut mahasiswa2 berprestasi harapan negeri di masa depan.
Kemarin adalah batas waktu terakhir pendaftaran mahasiswa baru.
Semalam kami semua tepekur, jika orang tua angkat Yuli yg miskin saja bisa mengangkat seorang anak yatim dan membesarkannya hingga dewasa, apalagi kami yg telah dianugerahi ilmu dan kehidupan lebih mapan.
Tuhan selalu hadir di tengah org miskin, tak salah pepatah yang mengatakan: 'Jika engkau mencari wajah Tuhan, carilah Dia diantara orang-orang miskin. Saat kau membantu orang miskin itu, kau akan bisa melihat wajah Tuhan yg tersenyum kepadamu'.

Selama satu minggu Alumni IPB Bersatu, tak mau menyerah pasrah kepada catatan kemiskinan.
Belum pernah ada hari-hari sedashyat itu, sambil menginjak bumi mereka semua ingin meraih langit.
Pekerjaan panjang baru saja dimulai, karena membuka sebuah pintu kebaikan harus diikuti dengan menunjukkan arah tujuan yg tepat bagi yg memasukinya.

Dana yg terkumpul itu barulah sebuah panjar, karena verifikasi atas kondisi kehidupan adik-adik tak mampu itu akan terus berjalan.
Dibutuhkan sebuah investasi besar di setiap awal semester, untuk memastikan mereka dapat terus melanjutkan kuliah hingga selesai.
Jiwa-jiwa wirausaha muda harus ditumbuhkan agar mereka tak terus menjadi beban, karena setiap tahun tentu akan muncul masalah yg sama yg harus segera dirancang pemecahannya.

Kerja keras telah dimulai,
sebuah semangat persatuan telah digalang.
Semoga semangat persaudaraan antara mahasiswa, jajaran civitas akademika dan seluruh alumni IPB tak lekang oleh waktu, pun tak kandas dimakan oleh jaman.

BRAVO IPB !!!....

Allah istimewakan kedua orang tua yang mengasuh, mendidik, dan menafkahi anaknya dengan penuh kasih sayang. Mereka bimbing anaknya menuju jalan yang diridhai Allah, sampai usia anak dewasa. Orang tua seperti inilah yang segala permintaan dan permohonannya dikabulkan.

0 comments: